Mulai dari bab ini kita akan
membahas mengenai indikator teknikal. Sebelum kita mulai, perlu
diketahui bahwa indikator teknikal bukanlah alat yang bisa menjadikan
kita seperti cenayang. Indikator teknikal hanya membantu kita untuk
mengenali potensi pergerakan harga.
Pertama kali kita akan membahas indikator teknikal yang bernama Moving Average.
Moving average (selanjutnya akan kita sebut sebagai MA) merupakan salah
satu indikator tren yang cukup populer. Indikator ini “memperhalus”
pergerakan harga dalam rentang waktu tertentu, sehingga kita dipermudah
untuk mengenali tren atau arah pergerakan harga secara umum. Mari kita
lihat gambar berikut ini.
Gambar di atas adalah grafik 1 jam-an
AUD/USD dari sekitar tanggal 16 November 2011 hingga 25 November 2011.
Garis berwarna merah yang ditambahkan pad grafik tersebut adalah salah
satu contoh indikator moving average yang memiliki periode 50 (MA 50).
Artinya, indikator tersebut mengambil data harga dari 50 candlestick
terakhir, lalu menggambarkannya sebagai garis yang kita lihat itu.
Standar harga yang digunakan biasanya adalah harga penutupan (close),
namun ada beberapa metode yang menggunakan harga open, high, atau low.
Namun kita tidak akan membahas hal tersebut kali ini.
Kembali ke gambar di atas, kita bisa
melihat bahwa MA bisa memperlihatkan kepada kita tren yang sedang
berlangsung. Jika harga pada umumnya berada di bawah MA, maka tren saat
itu adalah downtrend.
Sebaliknya, jika harga secarra umum
bergerak di atas MA, maka tren saat itu adalah uptrend. Dari contoh di
atas terlihat bahwa trend untuk AUD/USD pada grafik 1 jam-an (hourly)
adalah turun (downtrend). Semakin curam kemiringan MA tersebut, maka itu
artinya tren yang terjadi semakin kuat. Dengan demikian, kita bisa
lebih mudah memperkirakan potensi arah pergerakan selanjutnya.
MA juga bisa berfungsi sebagai support dan resistance. Istilahnya adalah support dan resistance dinamis (dynamic support and resistance). Dinamakan demikian karena ia bergerak sesuai dengan pergerakan harga.
Pada saat uptrend, MA berfungsi sebagai support. Sebaliknya pada saat downtrend, MA berfungsi sebagai resistance.
Oke, mungkin Anda sudah tidak sabar
ingin segera mencicipi resep trading menggunakan MA ini. Sabar… bahkan
Utut Adianto juga belajar dasar-dasar catur dulu kok sebelum menjadi
Grand Master. J
Baiklah, kita akan segera melangkah lebih jauh lagi.
Dalam pembelajaran mengenai MA ini, kita hanya akan membahas dua jenis MA yang populer saja, yaitu:
- Simple Moving Average (SMA)
- Exponential Moving Average ( EMA)
Kita akan mempelajari dasar-dasarnya dulu, baru nanti kita akan pelajari strateginya. Oke, ini dia….
Simple Moving Average (SMA)
Simple Moving Average (SMA) ini
merupakan MA yang paling sederhana. Ya, sesuai dengan namanya: simple.
Tapi jangan remehkan kemampuan si SMA yang sederhana ini, karena dengan
penggunaan yang tepat ia pun bisa menuntun Anda untuk mengenali
pergerakan harga.
Jika kita menggunakan SMA 50 di grafik 1
jam-an, maka SMA 50 yang kita lihat adalah hasil dari penjumlahan 50
harga penutupan terakhir, lalu hasil penjumlahan itu dibagi lagi dengan
50. Dari perhitungan itulah kita bisa memperoleh nilai rata-rata dari
harga penutupan dalam 50 jam terakhir.
Sudah dapat gambarannya kan? Oke, kita lanjutkan.
Seperti yang pernah disampaikan, pada
prakteknya kita tidak perlu susah-susah lagi menghitung SMA ini,
platform trading yang kita gunakan sudah menyediakan alatnya. Lho, lalu
mengapa repot-repot mempelajari perhitungannya? Tujuannya hanya agar
Anda memiliki gambaan mengenai apa sebenarnya SMA ini. Juga agar Anda
memiliki dasar jika nanti Anda ingin memodifikasi SMA ini sesuai dengan
strategi Anda nantinya.
Seperti yang telah disampaikan di awal
tadi: MA “memperhalus” pergerakan harga. Semakin besar periode yang
digunakan maka semakin “halus” pula MA yang dihasilkan. Semakin halus MA
yang dihasilkan maka akan semakin lambai ia bereaksi terhadap
pergerakan harga.
Mari kita lihat perbandingan antara SMA 20 dengan SMA 50 berikut ini.
Nah, kelihatan kan? SMA 20 yang berwarna
biru memiliki liukan-liukan yang lebih agresif dibandingkan dengan SMA
50 yang berwarna merah. Ini menunjukkan bahwa SMA 20 yang memiliki
periode lebih pendek lebih cepat bereaksi terhadap pergerakan harga,
sedangkan SMA 50 cenderung lebih lambat daripada SMA 20. SMA 50 terlihat
lebih “kalem”, tidak se-“liar” SMA 20.
Dengan mengamati kedua SMA di atas kita
bisa melihat bahwa pasar tengah dalam keadaan trending. Kedua SMA yang
kita lihat pada grafik di atas menggambarkan arah tren secara umum,
yaitu downtrend.
Pada topik yang lebih lanjut kita akan
mempelajari strategi penggunaan SMA ini, kelemahannya serta cara
mengantisipasi kelemahan SMA tersebut.
Exponential Moving Average (EMA)
Perhitungan EMA tidaklah sesederhana
SMA. EMA memberikan bobot yang lebih dalam perhitungan harga rata-rata
dalam rentang waktu tertentu. Efeknya adalah EMA cenderung lebih
sensitif terhadap pergerakan harga , sehingga EMA bergerak sedikit lebih
agresif daripada SMA.
Gambar di atas memperlihatkan SMA dan
EMA yang diplot pada grafik yang sama. Periode yang digunakan juga
sama-sama 50 namun metode perhitungannya berbeda. MA yang berwarna biru
adalah EMA, sedangkan MA yang berwarna merah adalah SMA. Kita bisa
melihat bahwa EMA 50 selalu lebih dekat kepada SMA 50. Ini artinya EMA
lebih merepresentasikan pergerakan harga (price action) daripada SMA.
Dengan kata lain, EMA lebih menggambarkan apa yang terjadi di pasar saat
ini.
SMA atau EMA?
Mungkin sekarang Anda akan berteriak,
“Jadi yang mana yang harus saya pakai? SMA atau EMA?” Hehe… jangan
bingung ya. EMA maupun SMA memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri.
Kita bahas satu per satu.
Kalau kita adalah trader yang agresif
dan ingin menggunakan MA yang bereaksi cepat terhadap pergerakan harga,
maka EMA merupakan pilihan yang tepat. EMA bisa membantu kita menangkap
peluang lebih cepat dibandingkan SMA. Dengan demikian profit yang bisa
kita dapatkan tentunya akan lebih besar pula. Namun kekurangannya adalah
kita bisa saja terjebak oleh fake signal (sinyal palsu) yang diberikan oleh EMA.
Nah, SMA sendiri adalah kebalikan dari
EMA. SMA bereaksi lebih lamban pada pergerakan harga daripada EMA.
Dengan demikian, peluang yang diberikan pun akan lebih lambat muncul.
Artinya, profit yang dihasilkan pun akan lebih kecil. Namun kemungkinan
terjebak oleh fake signal lebih kecil.
Jadi pilih yang mana? Terserah Anda. Ya,
benar-benar terserah Anda. Kita sudah tahu kekurangan dan kelebihan
masing-masing MA. Pilih yang sesuai dengan karakter Anda.
Penggunaan Moving Average
Ingat selalu kalimat ini:
“JIKA HARGA SECARA UMUM BERGERAK
DI ATAS MA, MAKA TREN YANG BERLANGSUNG ADALAH UPTREND. SEBALIKNYA JIKA
HARGA SECARA UMUM BERGERAK DI BAWAH MA, MAKA TREN YANG BERLANGSUNG
ADALAH DOWNTREND.”
Mudah kan? Inilah prinsip dasar
penggunaan MA. Dengan demikian, berhati-hatilah jika harga bergerak
menembus MA (terjadi breakout), karena hal tersebut merupakan indikasi awal (bukan kepastian) bahwa tren akan berubah arah.
Ingat juga bahwa pada saat uptrend
strategi yang terbaik adalah Buy. Sebaliknya, pada saat downtrend
strategi yang terbaik adalah Sell.
Pada saat uptrend, MA bisa kita
pergunakan sebagai area referensi untuk buy. Sebaliknya, pada saat
downtrend, MA bisa kita pergunakan sebagai area referensi untuk
melakukan sell. Strategi yang biasanya diterapkan adalah bounce trading.
Mari kita cermati gambar berikut ini:
Dalam gambar di atas terlihat indikator
SMA 50 yang diplot pada grafik 1 jam-an. Terlihat bahwa harga terkoreksi
dan mendekati SMA 50 dan memantul. Dengan demikian kita memperoleh
konfirmasi bahwa terjadi pantulan. Level stop loss yang terlihat di
gambar adalah exit point berdasarkan support yang terdekat. Level target
yang diambil adalah resistance yang terdekat. Perlu diingat bahwa jika
kita akan melakukan buy menggunakan MA, maka pastikan bahwa garis MA
sedang menanjak (naik).
Kita lihat apa yang terjadi kemudian.
Ternyata bounce yang terjadi valid dan target kita tercapai.
Pada strategi sell, yang dilakukan
sebenarnya hanya kebalikan dari strategi buy. Ketika harga mengalami
pullback ke area MA, yang kita lakukan adalah menunggu konfirmasi bounce untuk melakukan sell. Perhatikan gambar di bawah ini.
Contoh di atas juga mempergunakan SMA
50. Yang pertama kali harus kita perhatikan adalah apakah garis SMA
tersebut sedang turun. Ketika harga mengalami pullback ke area SMA,
pastikan bahwa kemiringannya SMA tetap ke bawah (turun). Dalam gambar di
atas, kita melihat bahwa harga persis menyentuh garis SMA. Memang ada
false break, namun segera harga bergerak turun dan bergerak di bawah
SMA. Keadaan ini menggambarkan bahwa tekanan bearish lebih besar
daripada bullish. Pada saat ini kita boleh langsung mengambil posisi
sell dengan target di support terdekat dan stop loss di resistance
terdekat.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Ya… ya… profit lagi. Sederhana memang, tapi ingat: tidak
selamanya skenarionya seperti ini. Terkadang bounce yang terjadi gagal
dan harga malah berbalik dan menembus MA dengan sadisnya. Itulah
sebabnya kita perlu menempatkan stop loss. Nantinya, dengan
strategi ditambah manajemen resiko yang baik (akan dipelajari nanti pada
level yang lebih tinggi), strategi yang sederhana pun bisa menghasilkan
profit yang konsisten.
Nah, ada pengembangan dari penggunaan MA
sebagai entry point. Salah satu pengembangan yang populer adalah
mengkombinasikan dua buah MA di dalam satu grafik. Kombinasi yang cukup
populer adalah kombinasi SMA 20 dan SMA 50. Strategi ini kita sebut
sebagai “double MA”.
Idenya adalah memanfaatkan celah yang
merupakan area di antara dua MA (apakah nanti Anda akan menggunakan SMA
ataupun SMA, sama saja. Hanya saja dalam contoh ini kami menggunakan
SMA). Dari gambar di atas kita bisa melihat bahwa sell dilakukan ketika
harga masuk ke dalam area yang dimaksud.
Kalau kita akan melakukan transaksi dengan strategi double MA maka minimal dua kondisi berikut harus terpenuhi:
- Kedua MA harus memiliki arah kemiringan yang sama. Jika akan BUY, maka kemiringan kedua MA harus ke atas (naik). Sebaliknya, jika akan SELL, maka kemiringan kedua MA harus ke bawah (turun).
- Harga sudah berada di dalam celah yang merupakan area di antara dua MA.
Contoh di bawah ini adalah menggunakan strategi double MA untuk melakukan Buy.
Oke, kita sudah tahu bahwa celah MA
tersebut bisa kita manfaatkan untuk entry. Pertanyaannya kemudian
adalah: kapan persisnya kita bisa buy atau sell?
Untuk sementara, kita gunakan saja dulu
area tersebut. Jadi ketika harga masuk dan candlestick ditutup di area
tersebut, maka pada saat itulah kita melakukan transaksi. Nantinya, akan
ada alat bantu tambahan yang bisa membantu kita untuk menentukan timing kapan harus melakukan aksi. Itu akan dipelajari di tingkat yang lebih lanjut. Stay tune!
Double MA Crossover
Perpotongan antara dua MA bisa kita
jadikan sinyal atau indikasi awal bahwa tren akan berubah arah. Hal
tersebut juga bisa kita pergunakan sebagai sinyal untuk entry.
Gambar di atas memperlihatkan SMA yang
diplot di grafik 1 jam-an untuk currency pair GBP/USD. Pergerakan dari
tanggal 27 Mei 2011 hingga lebih kurang 31 Mei 2011 adalah naik. Sekitar
tanggal 1 Juni 2011, terjadi crossover (perpotongan) antara SMA 20 dan
SMA 50. Setelah terjadi pullback sedikit, terlihat GBP/USD meluncur
turun mulai tanggal 1 Juni 2011 hingga 2 Juni 2011.
Jika Anda melakukan sell ketika kedua
SMA itu berpotongan, maka pada tanggal 2 Juni Anda sudah memperoleh
setidaknya 100 pips. Yummy!
Kalau buy bagaimana? Sederhana saja, perpotongan dari bawah ke atas merupakan sinyalnya.
Perpotongan dua MA tersebut juga bisa
kita manfaatkan sebagai exit point jika kita seandainya telah melakukan
Buy berdasarkan strategi double MA sebelumnya. Jadi, selain sebagai
entry point, perpotongan dua MA juga bisa digunakan sebagai exit point.
Post a Comment